Tiga Anak Suku Bajo Main Film
KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI
Sutradara muda, Kamila Andini bersama ayahnya, Garin Nugroho (kanan) yang sekaligus menjadi produser, menghadiri jumpa pers peresmian dimulainya proses produksi film yang berjudul The Mirror Never Lies di Hongkong Cafe, Jakarta, Selasa (21/9/2010). Pembuatan film ini bekerjasama dengan WWF Indonesia. Ceritanya tentang drama keluarga di Wakatobi yang kehidupannya bergantung pada laut.
Sutradara muda, Kamila Andini bersama ayahnya, Garin Nugroho (kanan) yang sekaligus menjadi produser, menghadiri jumpa pers peresmian dimulainya proses produksi film yang berjudul The Mirror Never Lies di Hongkong Cafe, Jakarta, Selasa (21/9/2010). Pembuatan film ini bekerjasama dengan WWF Indonesia. Ceritanya tentang drama keluarga di Wakatobi yang kehidupannya bergantung pada laut.
JAKARTA, KOMPAS.com — Untuk kali pertama, tiga anak asli suku Bajo dari Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, bermain dalam sebuah film. The Mirror Never Lies: Reflection of Beauty and Challenges in the Coral Triangle, film tersebut, mengambil tema kehidupan suku Bajo di Kepulauan Wakatobi dan dibuat atas kerja sama pemerintah daerah setempat, WWF Indonesia, dan SET Film Workshop.
Adalah Gita Novalista, Eko, dan Zainal, tiga anak asli suku Bajo dari Wakatobi yang berperan sebagai tiga sahabat dalam fiksi tentang kehidupan sosial dan budaya suku itu. "Aku membuat film ini dengan kisah yang aku angkat sendiri dari pengamatan aku terhadap suku Bajo di Wakatobi," ungkap Kamila Andini, sutradara film tersebut, yang juga putri dari sutradara film ternama Garin Nugroho, Selasa (26/4/2011) di fX Plaza, Senayan, Jakarta.
Film itu menceritakan seorang anak perempuan bernama Pakis (diperankan oleh Gita) yang terus berharap agar ayahnya segera pulang dari melaut. Namun, naas, ayahnya tidak kunjung pulang karena tewas ditelan ombak. "Suku Bajo merupakan suku yang hidup bebas di lautan luas. Mereka tersebar di seluruh dunia. Sepengetahuan saya, yang paling jauh ada di Afrika Selatan. Saya sendiri berasal dari suku Bajo yang ada di Wakatobi," kata Sadar, Wakil Presiden Perkumpulan Orang Bajo Se-Indonesia, yang juga hadir dalam jumpa pers tentang film tersebut.
Dari sudut keorganisasian, presidium tertinggi di dunia dari suku Bajo sementara ini di tingkat Asia Tenggara. Selain itu, suku Bajo sudah lama dikenal memiliki kehidupan yang tidak pernah lepas dari ekosistem laut. "Saya justru tidak merasa kehadiran film ini mengeksploitasi suku Bajo. Justru, adanya film ini akan mengangkat kehidupan masyarakat yang dekat dengan laut. Kita kan negara kepulauan. Sementara ini, baru perspektif daratan saja yang banyak diekspos," ujar Hugua, Bupati Wakatobi, ketika dimintai pendapatnya mengenai kehadiran film tersebut dan dukungannya terhadap film itu.
Dipaparkan pula, selain mengangkat kehidupan sosial dan budaya suku Bajo dari Wakatobi, yang terpenting film tersebut diharapkan bisa mengingatkan kembali para penonton terhadap pentingnya hidup berkelanjutan bersama alam. Dalam film itu diperlihatkan beberapa adegan mengenai perlindungan ekosistem laut. Contohnya, tidak mengambil ikan yang masih kecil agar masih bisa terjadi proses regenerasi populasi. Ada pula eksplorasi terhadap nilai-nilai kearifan masyarakat setempat dalam menjaga lingkungan.
Suku Bajo di seluruh dunia merupakan masyarakat yang akan kali pertama berisiko terpapar efek dari perubahan iklim secara ekstrem. Terumbu karang yang terpapar sinar matahari yang kian terik akan lambat laun menghilang. Padahal, terumbu karang merupakan tempat hidup ikan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat yang bergantung kepadanya. Artinya, kehidupan masyarakat suku Bajo di seluruh dunia akan menjadi lebih rentan dibanding sebelumnya.
Kisah ayah Pakis, yang tewas diterjang ombak, secara implisit juga menggambarkan bagaimana ombak semakin tidak bersahabat dengan manusia. Para nelayan juga tak jarang mencari ikan dengan jarak tempuh yang lebih jauh karena sumber ikan di daerah asal sudah menipis. "Bahkan, orang Madura kini juga telah sampai di Wakatobi. Mereka juga datang untuk menangkap ikan," tambah Sadar.
Di akhir kisah, Pakis, yang terus berharap ayahnya akan kembali dari melaut, akhirnya secara gamang menerima kepergian ayahnya untuk selamanya. "Lautan tempat ayah tinggal," ucap Pakis.
Kegamangan Pakis meninggalkan pesan bahwa lautan sebetulnya bisa bersahabat dengan manusia. Namun, itulah lautan, sebuah kondisi keras yang harus dihadapi oleh suku Bajo dari Wakatobi. Terlebih, pekerjaan melaut menjadi bertambah keras akibat alam semakin tidak nyaman dan tak menentu.
The Mirror Never Lies: Reflection of Beauty and Challenges in the Coral Triangle diproduseri bersama oleh Garin Nugroho dan Nadine Chandrawinata, model dan artis peran yang akrab dengan Wakatobi dan terumbu karang. Selain ketiga anak suku Bajo dari Wakatobi tadi, para pemain lain dalam film itu adalah Atiqah Hasiholan (sebagai ibu dari Pakis) dan Reza Rahardian (peneliti lumba-lumba yang menginap di rumah Pakis).
Source: entertainment.kompas.com