Ragam Hias Motif Batik Indramayu
Ciri yang menonjol pada batik Indramayu adalah langgam flora dan fauna yang diungkap secara datar, banyak bentuk lengkung, dan garis yang meruncing (ririan), berlatar putih, warna gelap, dan banyak titik yang dibuat dengan teknik complongan jarum, serta bentuk isen-isen (sawut) yang pendek dan kaku.
Faktor yang mempengaruhi munculnya rancangan ragam hias batik yang kemudian menjadi ciri khas yaitu letak geografis, sifat, dan tata kehidupan daerah, kepercayaan serta adat istiadat, keadaan alam sekitar termasuk flora dan fauna dan hubungan antar daerah pembatikan.
“Latar belakang kehidupan nelayan dan petani menjadi ciri dan identitas batik Indramayu. Para pembatik banyak mengambil tema alam di sekitarnya, kemudian dituangkan menjadi bentuk ragam hias di atas kain,” ujar Yayat Supriatna, kepala Bidang Pengembangan Usaha dan Promosi Dekranasda.
Menurut Yayat unsur pokok seni rupa pada batik Indramayu lebih ditentukan oleh garis dan titik, warna, bidang, dan tekstur. Kemudian unsur-unsur seni tersebut harus disusun membentuk motif disain sehingga mampu memberikan cita rasa keindahan secara harmonis dan utuh.
Pada perkembangannya, kini lebih bergaya bebas, tidak mempunyai ikatan, corak abstraknya dilakukan dengan memakai canting dan kuas, dan warna beraneka ragam, serta diberikan dengan teknik mencelup dan mencolet.
Batik Indramayu sudah mengalami perubahan dari segi fungsi, desain, pewarnaan, dan motif. Hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman maupun adanya pengaruh-pengaruh dari sisi kehidupan manusia yang selalu menginginkan hal yang baru. Batik yang semula terikat oleh aliran-aliran, seperti pada batik tradisional, kini mengalami perubahan fungsi batik. Motif-motif yang digunakan sudah merupakan hasil dari kreasi baru mendekati pada motif abstrak yang merupakan peralihan tradisional dan modern.
“Tidak banyaknya makna simbolis pada ragam hias batik Indramayu, disebabkan para pembatik lebih cenderung menganggap membatik selayaknya melukis tanpa maksud apapun selain tertarik pada keindahan semata, kemudian batik sebagai komoditi ekonomi yang dibuat berdasarkan selera konsumen dan tidak memakan waktu lama dalam proses pembuatannya,” ungkap Yayat.
Keunggulan dan Pelestarian Batik
Lilin batik adalah bahan yang dipakai untuk menutup permukaan kain menurut gambar motif batik, sehingga permukaan yang tertutup tersebut menolak atau resist terhadap warna yang diberikan terhadap kain tersebut.
“Lilin sebagai bahan untuk membatik, berfungsi sebagai perintang warna. Untuk proses batik tulis digunakan beberapa campuran jenis lilin batik yang masing-masing berbeda sifat dan penggunaannya, karena akan berpengaruh pada jenis canting yang akan digunakan dalam membatik,” kata Carwati, salah seorang pembatik Paoman.
Sebagai bahan pokok lilin adalah, Gondorukem, Damar matakucing, Parafin (putih dan kuning), Microwax, Lemak binatang (kendal atau gajih), minyak kelapa, lilin tawon dan lilin lanceng. Jumlah bahan pokok yang dipakai dan perbandingannya bervariasi tergantung pengalaman masing-masing, sehingga mencapai sifat-sifat yang dikehendaki seperti daya tahan tembus, kebasaan tinggi, lemas atau fleksibel dan tidak mudah pecah, dapat membuat gambar atau motif dengan garis-garis yang tajam, dan mudah dilepas kembali pada waktu di-lorod.
Dalam pewarnaan batik secara umum dikenal dua teknik, yaitu teknik pencelupan dan teknik colet kuas. Pertama, teknik pencelupan dilakukan dengan gerakan tangan dalam wadah yang diisikan zat pewarna dengan campuran air yang sesuai dengan komposisi tertentu. Saat pencelupan, kain dibolak-balik supaya warnanya merata. Untuk menghasilkan warna yang lebih tebal, maka pencelupan dilakukan berulang-ulang.
Kedua, teknik coletan, teknik ini dilakukan dengan cara mencolet dan menguaskan zat warna pada kain mori, dan lilin sebagai pembatas yang bertujuan supaya zat warna tidak menjalar ke bidang lain.
Pengembangan zat warna untuk batik dengan menggunakan zat warna alam merupakan unggulan kompetitif bagi batik yang memberikan ciri khas bagi warna-warna batik milenium. Zat warna yang digunakan semula zat warna alam soga dan nila (indigo) di daerah pedalaman, namun terus berkembang ke daerah pesisiran dengan berbagai warna alam yang lain seperti, warna merah, hijau, kuning, dan lain-lain.
Penggunan zat warna alam sebagai pewarna batik merupakan tuntutan pasar karena kecenderungan konsumen pada saat ini lebih menyukai warna etnik yang “soft colour” karena terkesan lebih antik dan unik. Walaupun dalam penggunaan zat warna alam dianggap tidak efisien jika dibandingkan dengan zat warna sintetis, namun bagi konsumen yang telah mengerti tentang batik senantiasa ingin selalu menggunakan batik dengan zat pewarna alam meskipun harganya relatif lebih mahal. • imam
Source: tabloid-mh.blogspot.com