Tradisi Adat Upu di Ullath (Pulau Saparua)
Negeri Ullath adalah salah satu negeri adat di pulau Saparua, dan sudah terkenal dalam catatan besar sejarah Maluku secara umumnya. Salah satunya, negeri Ullath tercatat dalam sejarah kekristenan di Maluku, sebagai negeri pertama yang menerima injil di pulau Saparua, pada tahun 1630; dan disusul kemudian oleh negeri Booi. Sedikit gambaran tentang negeri Ullath menjadi pengantar bagi anda sekalian kiranya dapat menambah pengetahuan sejarah anda sekalian.
Lama juga saya meninggalkan waktu blogging saya, namun kali ini saya kembali lagi dengan sebuah postingan yang mengangkat tentang salah satu tradisi adat di negeri Ullath, yaitu Tradisi Adat Upu yang secara kebetulan baru terlaksana pada hari jumat, 25 Pebruari 2011; di negeri Ullath. dan secara kebetulan juga saya turut menyaksikan tradisi tersebut.
Acara adat Upu ini dibuat oleh salah satu keluarga Pical di Ullath. Keluarga ini membayar hutang adat kepada masyarakat negeri Ullath dengan cara memberi makan secara massal kepada seluruh anggota masyarakat negeri Ullath selama 4 hari, terhitung mulai dari hari selasa, 22 Pebruari 2011. Jadi defenisi dari tradisi adat Upu di Ullath; adalah bentuk pembayaran hutang adat yang dibayar oleh salah satu keluarga kepada seluruh masyarakat negeri Ullath; dikarenakan salah satu anggota keluarganya (entah itu Opa, Ayah, atau lain sebagainya) ketika dahulu pernah menjabat sebagai kepala Soa atau Raja di negeri tersebut. Juga kenapa hal tersebut dapat dikatakan sebagai “hutang adat”, sehingga keluarga Pical dalam hal ini wajib membuat adat Upu? Alasannya, karena pada waktu Almarhum Opa/ayah mereka menjadi Kepala soa, beliau ketika membuat perintah bagi siapapun, setiap masyarakat (tidak memandang berapa usianya) harus mematuhi dan melaksanakan perintahnya tersebut (tidak memandang waktu, entah itu pada waktu pagi, siang, ataupun tengah malampun jika ada perintah harus di laksanakan). Ataupun dalam masa jabatannya tersebut, ketika ada terjadi masalah-masalah social kemasyaratan dan mengharuskan beliau menjatuhkan hukuman dalam bentuk apapun, masyarakat tersebut harus menerima atau menjalankan hukuman tersebut dengan rasa hormat.
Adat upu ini sudah berlangsung turun temurun di negeri Ullath, dan telah terbukti jika saja keluarga tertentu yang tidak melaksanakan tradisi adat Upu ini sesuai dengan ketentuannya, maka keluarga tersebut akan mendapatkan ganjarannya. Seperti sakit parah, dan banyak yang meninggal dunia dari anggota keluarganya. Sehingga adat upu di Ullath menjadi suatu keharusan bagi setiap keluarga yang memiliki salah satu garis keturunannya dan pernah menjabat sebagai kepala Soa maupun menjabat sebagai Raja; harus membayar hutang adat tersebut bagi masyarakat negeri Ullath.
SUSUNAN ACARA ADAT UPU
Yang teramati pada saat itu, dimulai dari suatu persiapan yang dilakukan oleh sekumpulan kewang (adalah salah satu lembaga adat di setiap negeri di pulau Ambon, pulau Lease, Maluku Tengah, dan di pulau Seram yang memiliki tugas sebagai polisi hutan dan polisi pantai. Dan di negeri Ullath kewang masih diakui statusnya dalam setting adat istiadat setempat) mulai berkumpul di rumah kepala kewang (bpk. Martinus Patty) dengan memakai baju cele (baju adat orang Maluku Tengah) berwarna merah dan celana 3/4 berwarna merah; juga mengenakan ikat berang merah di leher. Dalam persiapan tersebut mereka melatih beberapa nyanyian kapata (syair yang dinyanyikan degan bahasa tanah/daerah Ullath, yang lirik-liriknya mengandung banyak arti filosofis tentang kebudayaan masyarakat di Ullath dalam hubungannya dengan sesama manusia, alam sekitar, dan juga hubungan mereka dengan sang Khalik) untuk mengiring prosesi adat upu selanjutnya.
Setelah bunyi tifa berbunyi dari Baileo (rumah adat di Maluku) sebagai tanda prosesi adat upu segera dimulai, maka kewang-kewang mulai bersiap dan berbaris di halaman rumah kepala kewang sambil menyanyikan kapata. Setelah itu spontan terdengar bunyi tahuri (salah satu alat musik etik Maluku yang terbuat dari Kulit Keong Laut yang berukuran besar) dan tifa dan para kewang-kewang mulai mempertunjukan tarian cakalele (tarian perang) lengakap dengan parang (pedang) dan salawaku (tameng), sambil menuju ke rumah Kapitang Basar (panglima perang besar/kepala) untuk menjemputnya, beserta Malessi-nya (pengawal pribadi Kapitang Besar).
Nama kapitang besar dalam adat Ullath adalah Kapitang Italili dan Malessi-nya Supusepa. Setelah dari rumah Kapitang Besar, iring-iringan tersebut menuju ke tempat/rumah salah satu kapitang penting lainnya yaitu kapitang Lusikooy (malessi-nya Litamaputty menurut orang Ullath Litamaputty tinggal di negeri Ihamahu), setelah itu iring-iringan tersebut mulai mengambil kapitang-kapitang lainnya seperti kapitang Hasina (malessi-nya adalah sepasang anjing), kapitang Puri-puri (malessi-nya adalah seekor burung Kasturi) kapitang Hiul, dan kapitang Sulassa. Setelah kapitang-kapitang telah lengkap dalam barisan cakalele itu, iring-iringan kemudian menuju ke rumah keluarga Pical, yaitu keluarga yang membayar hutang adat upu tersebut, untuk mengambil secara simbolik harta keluarga yang disediakan diatas sebuah meja. Yang mana nantinya meja tersebut akan dibawakan ke Baileo, sebagai bentuk acara puncak dari akta pembayaran hutang adat Upu (meskipun di lain sisi mereka telah memberikan jamuan-jamuan khusus dan jamuan makan selama 4 hari kepada seluruh masyarakat Ullath) tersebut.
Diatas meja tersebut tersedia 9 (sembilan) botol yang berisikan minuman Sopi (minuman keras orang Maluku), dan Sembilan (9) botol lainnya yang berisikan Sageru (salah satu jenis tuak orang Maluku); dan disamping meja tersebut terdapat 2 buah buyung/tempayang lainnya yang berisikan masing-masing Sopi dan Sageru. Sebelum iring-iringan kapitang, malessi, dan para kewang memasuki rumah keluarga Pical, mereka disambut oleh salah satu tokoh adat yang mengatas-namakan keluarga Pical untuk mempersilahkan masuk ke tempat harta keluarga itu ditempatkan. Kapata demi kapata selalu diperdengarkan oleh iring-iringan rombongan itu, sampai mereka diperkenankan masuk ke tempat/rumah keluarga Pical, kapata masih terus diperdengarkan.
Ada suatu kekhususan waktu itu, seorang pendeta jemaat gereja protestan Maluku (GPM) Ullath dipersilahkan oleh tokoh-tokoh adat untuk membawakan doa dan meminta permohonan kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta untuk berkuasa di atas adat istiadat itu, agar beban-beban yang dahulu telah menimpah keluarga Pical semoga diangkat, dan malapetaka tidak lagi menghampiri keluarga tersebut. Setelah itu, keluarga Pical dipersilahkan mengitari meja (yang berisikan harta keluarga tersebut) yang telah mereka persiapkan itu untuk terakhir kalinya; sambil masyarakat negeri Ullath dan juga tokoh-tokoh adat menyanyikan kapata berisikan doa khusus bagi keluarga dan saniri negeri.
Beranjak dari prosesi tersebut, maka meja yang berisikan harta itu dibawa menuju ke Baileo dengan cara dijinjing oleh empat (4) orang yang telah ditentukan, sambil diiringi dengan kapata-kapata oleh para tokoh adat dan semula iring-iringan yang terdiri hanya tokoh-tokoh adat, kini sudah bertambah dengan seluruh keluarga Pical dan rumpun keluarganya menuju ke Baileo. Sesampainya di Baileo, rombongan iring-iringan meja yang berisikan harta dari keluarga Pical itu di terima oleh tuang adat (kepala adat di negeri Ullath) dari negeri Ullath dan sebelum akhirnya dipersilahkan masuk untuk melakukan proses pembayaran hutang adat dari keluarga Pical kepada negeri Ullath; dan diterima secara simbolik oleh tuang-tuang adat di negeri Ullath yang saat itu sudah berada dan menanti di Baileo. Semua prosesi adat di Baileo berjalan dengan cara berkomunikasi dengan memakai bahasa tanah setempat. Dan setelah tanda terima dengan resmi diterima oleh tuang-tuang adat di Ullath, maka sorak-sorai masyarakat negeri Ullath mulai terdengar dengan serempak, dan kapata-kapata dengan ramai diperdengarkan sambil membiaskan sukacita bersama dengan keluarga Pical pada saat itu yang telah dinyatakan lunas membayar hutang adat upu bagi seluruh masyarakat negeri Ullath.
Sebagai prosesi terakhir dari runtunan acara adat tersebut, saya juga merasakan sukacita bersama kala itu, ketika sopi dan sageru (biasanya dalam setting adat orang Maluku Tengah dan juga Maluku pada umumnya, acara minum sopi atau sageru adalah hal yang substansi dari hampir sebagian besar adat di Maluku) itu dibagi-bagikan untuk diminum secara bersama-sama. Tetapi ada hal yang membuat saya sendiri kaget waktu itu, dan benar-benar tidak masuk akal; namun hal ini benar-benar terjadi, bahwa ada keajaiban yang terjadi pada dua (2) buah buyung/tempayang yang berisikan sopi dan khusus ditempatkan di dalam baileo negeri Ullath, tepatnya bagian depan pintu masuk dan bagian belakang di pintu keluar Baileo, bahwa isi sopi dari kedua buyung tersebut tidak habis isinya, meskipun yang meminum dari isi buyung itu sekitar 2000 orang saat itu.
Namun setelah saya telusuri fenomena tersebut, dan memang data yang saya kumpulkan merujuk pada hal yang sama, bahwa hal tersebut merupakan sebuah realita yang sudah berlangsung dari turun temurun setiap kali ada acara seperti demikian, maka kejadian itu terjadi lagi saat itu. Sebab buyung-buyung tersebut telah ada semenjak nenek moyang mereka. Sebab hanya orang-orang khusus yang bisa menimbah isi dari buyung tersebut, dan tidak sembarangan orang. Jika sembarang orang yang menimbahnya maka sopi sebagai isi dari buyung itu akan kering dan tidak secara otomastis bertambah seperti yang saya saksikan. Jadi menurut orang Ullath, orang-orang khusus untuk menimbah buyung yang ditempatkan dipintu bagian depan adalah mereka yang bermarga “Latul” dari masyarakat Ullath. Demikian pula dengan buyung yang ditempatkan dibagian pintu belakang, adalah mereka orang-orang yang bermarga “Patty” dari masyarakat negeri Ullath.
Demikianlah runtunan acara adat upu yang saya saksikan saat itu, saya postingkan buat anda sekalian yang memang benar-benar mencintai tradisi budaya orang Maluku. Ataupun bagi anda-anda sekalian yang suka sekali dengan hal-ihwal tentang budaya di dalam dunia ini, semoga bermanfaat bagi anda sekalian.
O iya, saya hampir lupa ada beberapa informasi tambahan, bahwa baik itu makanan ataupun minuman yang disediakan oleh keluarga Pical (menurut adat setempat) untuk membayar hutang adat upu tersebut, terbuka untuk umum dan dapat dikonsumsikan bukan hanya bagi masyarakat Ullath an sich, tetapi bagi orang dagang (sebuatan bagi orang asing dalam konteks kultur orang Maluku) juga, jika bersamaan waktu itu bersama-sama terlibat atau sementara berkunjung di negeri Ullath. Ada satu pengecualian di jenis makanan yang sediakan dalam acara adat tersebut, yaitu tidak diperbolehkan adanya daging babi dalam setiap acara adat orang Ullath, sebab hal itu adalah pamali (pantangannya).
SOA-SOA DI NEGERI ULLATH
Soa adalah sebuah kelompok yang terbangun didalam sebuah negeri, yang kapasitasnya lebih besar dari sebuah keluarga. Biasanya Soa itu terbangun dan ditentukan sebagai suatu komunitas/lembaga kecil didalam suatu komunitas besar (negeri/desa) berdasarkan hal-hal tertentu yang secara historis ada kaitan antara sesama satu soa tersebut. Entah itu memiliki hubungan/kaitan darah (geneologis) tetapi juga memiliki kaitan-kaitan lainnya. Berikut ini ada enam (6) Soa di negeri Ullath, yaitu :
SOA ITALILI, yang termasuk di dalamnya :
1. SUPUSEPA
2. MANUPUTTY
3. PATTIPEILOHY
SOA HATULESSY, yang termasuk di dalamnya :
1. SIWABESSY
2. LAWALATA
3. MANUPUTTY
4. MAAIL
SOA PUTIMAHU, yang termasuk di dalamnya :
1. TOUMAHU
2. MANUKILE
3. LATAAY
SOA RUMAILA, yang termasuk di dalamnya :
1. TELEHALA
2. SAPULETTE
3. PAAIS
4. JOHANNES
5. MANUHUTTU
SOA SOULISSA, yang termasuk di dalamnya :
1. TOISUTA
2. AHULUHELU
SOA RAJA, yang termasuk di dalamnya :
1. PICAL
2. MATHEOS
3. PARINUSSA
4. MANUPUTTY
5. LATUL
Demiki yang bisa saya postingkan, sekian dan terima kasih.
Source: malukulease.blogspot.com