Masjid dan Suara Azan
Seorang muazin saat mengumandangkan azan di salah satu masjid di Jakarta. |
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Fuad Nasar
Masjid adalah tempat suci dan sangat dihormati umat Islam di seluruh dunia. Di masjid dimuliakan nama Allah melebihi tempat lain (QS an-Nur [24]: 36). Masjid merupakan bangunan risalah pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sejalan dengan fungsi masjid sebagai tempat bersujud kepada Allah SWT maka masjid dan suara azan tidak dapat dipisahkan. Bukanlah masjid kalau tidak mengumandangkan suara azan. Suara azan tidak mungkin pula dikumandangkan secara rutin kalau bukan di masjid.
Pada zaman nabi, azan belum menggunakan pengeras suara. Muazin pertama Rasulullah, yaitu Bilal bin Rabah, cukup berdiri di tempat tinggi untuk mengumandangkan seruan azan. Dalam hadis diriwayatkan suatu ketika tiba waktu shalat, Rasulullah memanggil Bilal, “Wahai Bilal, kumandangkanlah azan, hiburlah kita dengan dia (azan itu).”
Tidak seorang pun ulama di dunia Islam yang memandang bidah azan dengan pengeras suara. Sudah jelas batas antara ibadah dan dunia dalam hal azan ini. Mustafa Kemal Ataturk di Turki pernah mengeluarkan larangan azan dalam bahasa Arab dari menara-menara masjid, tapi hanya berlangsung selama Ataturk berkuasa.
Mengapa suara azan harus jelas terdengar? Sebab, tujuan azan memanggil orang shalat berjamaah ke masjid. Namun demikian, kriteria muazin perlu lebih diperhatikan. Panggilan azan tidak sekadar asal bunyi, tapi diharapkan merasuk ke hati sanubari.
Masjid harus sejuk dan menyejukkan. Suara selain azan memang bisa mengganggu waktu istirahat warga di sekitar masjid, terutama di perkotaan. Selawat, tarhim, bacaan Alquran, atau beduk bukan bagian dari azan. Hanya saja ada tradisi sebagian masjid di Tanah Air mengumandangkan bacaan selain azan berdekatan dengan waktu shalat atau memukul beduk sebagai tanda masuknya waktu shalat.
Sebagian orang mungkin terganggu dengan suara speaker selain azan pada jam-jam tertentu dan di lingkungan tertentu. Selain suara azan, tadarus Alquran di bulan Ramadhan dan takbir hari raya adalah ibadah dan syiar Islam. Tapi, kalau dilakukan semalam suntuk dengan pengeras suara atau menyetel kaset sampai pagi adalah tidak tepat.
Penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala sudah ada pengaturan dan tuntunan yang dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Islam Departemen Agama RI pada 1978. Dalam tuntunan tersebut, antara lain, diatur speaker masjid dipisahkan antara corong speaker keluar dan ke dalam. Speaker yang ditujukan ke luar masjid hanya untuk azan, sebagai tanda telah tiba waktu shalat.
Adapun bacaan shalat dan doa pada dasarnya hanya untuk kepentingan jamaah maka tidak perlu ditujukan keluar, sehingga tidak melanggar ketentuan syariah yang melarang bersuara keras dalam shalat dan doa.
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1976 mengeluarkan seruan tertulis tentang Penggunaan Alat Pengeras Suara untuk Kepentingan Syiar Islam, yaitu 15 menit sebelum waktu Subuh pada hari-hari biasa dan 30 menit sebelum waktu Subuh pada Ramadhan. Pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid menjelang Subuh merujuk pada keputusan Musyawarah Alim Ulama Terbatas DKI Jakarta, September 1973. Wallahu a’lam.
Redaktur: Heri Ruslan
Source: www.republika.co.id