Pengamat: seni kerakyatan medium pendidikan seminari
Magelang (ANTARA news) - Pengamat budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ST Sunardi mengemukakan perlunya dipikirkan penggunaan seni kerakyatan sebagai medium pendidikan di seminari.
"Ingat bahwa salah satu tujuan seminari di Indonesia antara lain adalah mempersiapkan para calon imam `pribumi`. Dengan demikian, perlu dicari bentuk-bentuk seni yang dekat dengan emosi `pribumi`," katanya pada diskusi pendidikan kebudayaan bertajuk "Samar Jiwa" dalam rangkaian peringatan Seabad Seminari Menengah Mertoyudan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di Magelang, Rabu (2/5) malam.
Pembicara lain pada kesempatan itu adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thullab, Wonosari, Tempuran, Kabupaten Magelang KH Achmad Labib dan pekerja pelestarian lingkungan yang juga Kepala Gereja Paroki Kebonarum Kabupaten Klaten Romo V. Kirjito, sedangkan moderator budayawan Magelang Sutanto Mendut.
Sunardi yang juga pengajar Program Magister Ilmu Religi Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu mengemukakan, kegagalan mencari berbagai bentuk ekspresi yang tepat bukan hanya bisa menyurutkan "elan vital" para seminaris dalam menjalani pendidikan sebagai calon imam Katolik.
Namun, katanya, juga bisa secara cepat atau lambat menabur berbagai benih neurotik yaitu sosok yang hanya suka menjalankan peraturan dan tidak pernah berani mempersoalkannya karena gairahnya terlalu lemah.
Pada masa lalu, katanya, kesenian yang diadopsi sebagai sarana pendidikan di seminari biasanya kesenian yang `kebarat-baratan` atau seni tradisi yang berbau keraton sentris. Seminari adalah tempat pendidikan para calon imam Katolik.
"Sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan pandangan orang tentang budaya, ada baiknya perlu dipikirkan menggunakan seni kerakyatan sebagai medium pendidikan," katanya.
Labib yang juga Wakil Ketua Komisi Informasi Provinsi Jateng itu mengemukakan perlunya penelitian menyangkut dinamika pendidikan pesantren yang memodernkan diri atau meradikalisasi diri.
"Karena pesantren berawal dari model pendidikan yang dilakukan para begawan kepada masyarakat kecil yang secara ikhlas ingin mencari ilmu dan hikmah. Maka dapat dipahami mengapa pesantren lebih banyak berada di pedesaan serta bersifat sederhana dan tradisional," katanya.
Sebagai institusi pendidikan nonformal, kata Labib yang juga mantan Ketua DPRD Kabupaten Magelang itu, pesantren telah memberikan kontribusi besar kepada Bangsa Indonesia terutama melahirkan manusia yang santun, toleran, dan menebarkan perdamaian.
Ia mengemukakan ketidakmungkinan santri sertamerta menolak kesejagatan dengan melestarikan konstruksi lama dan tidak mau melihat sesuatu yang baru di depan mata karena hal itu akan merugikan diri sendiri pada masa mendatang.
"Meninggalkan tradisi lama bagi pesantren juga merupakan hal yang keliru, seolah-lah kita melupakan identitas dan sejarah kita yang tentu juga kaya akan makna dan simbol luhur, dan sangat tidak bijak juga kalau mengatakan sesuatu yang lama itu buruk, kolot, ketinggalan zaman," katanya.
Pada kesempatan itu ia juga mengemukakan, pluralisme tidak menjerumuskan santri kepada pemikiran dan sikap yang melupakan eksistensi mereka.
Pluralisme, katanya, mencoba memberi jalan tengah antara tradisi lama dengan perkembangan zaman yang tidak mungkin dielakkan.
"Dan bagaimana memaknai sesuatu yang terjadi di hadapan mata bisa dimaknai secara plural. Dalam konteks Bangsa Indonesia yang pluralistik, maka `pluralisme civic` adalah jenis `tafsir` terbaik untuk menyikapi kemajemukan etnis, budaya, dan agama di negeri ini," katannya.
Kirjito mengemukakan perlunya manusia mengembangkan pergaulan bukan saja dengan Tuhan dan sesama manusia, tetapi juga dengan alam karena sejarah telah mencatat bahwa pergaulan melahirkan banyak kebudayaan.
"Ilmu pengetahuan dan teknologi lahir juga karena pergaulan manusia dengan alam. Peradaban berawal dari pergaulan dengan sungai dan air. Air mempunyai daya yang mencipta kehidupan dan dari air berkembang macam-macam budaya, doa, ekologi, dan ilmu pengetahuan," katanya. (M029)
Editor: B Kunto Wibisono
Source: www.antaranews.com