Banyak Pelanggaran terhadap Nilai-nilai Pancasila
Aloysius Budi Kurniawan | Nasru Alam Aziz |
YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Penegasan Pancasila sebagai filosofi, ideologi, jiwa, dan pandangan hidup sudah final. Akan tetapi, dalam tahap pelaksanaan masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Dari sekitar 400 pengaduan gugatan undang-undang (UU) yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK), periode Agustus 2003 hingga Mei 2012, sekitar 27 persen di antaranya dibatalkan. Pembatalan dilakukan karena sebagian besar UU tersebut melanggar nilai-nilai Pancasila.
Ketua MK Mahfud MD mengatakan, yang paling membahayakan saat ini bukan hanya korupsi uang atau kekayaan negara, melainkan juga korupsi dalam pembuatan peraturan dan kebijakan. Apabila korupsi seperti ini terjadi, maka akan timbul kasus korupsi yang berkesinambungan.
"Korupsi pada peraturan dan kebijakan akan memunculkan banyak korupsi karena peraturan dan kebijakan itulah sumbernya," kata Mahfud, Kamis (31/5/2012) dalam Kongres Pancasila IV di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang diikuti akademisi dan pemerhati Pancasila dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga.
Menurut Mahfud, ada dua kelompok besar bentuk korupsi peraturan dan kebijakan, yaitu menyangkut masalah politik dan korupsi. Beberapa UU yang pernah digugat antara lain UU Pemilu, UU Pemerintahan Daerah, dan UU Pemberantasan Korupsi.
"Ada pula potensi korupsi peraturan dan kebijakan dalam hal sumber daya alam, misalnya UU Pertambangan, UU Perhutanan, dan UU Sumber Daya Alam. Pada praktiknya, UU-UU ini membahayakan keutuhan NKRI," kata Mahfud.
Mahfud menyebut UU tentang SDA disinyalir kuat sengaja dibuat untuk memberi peluang korupsi. "Kasus ini masih kami tangani. Yang jelas, banyak UU yang sengaja dibuat agar orang atau institusi bisa korupsi," katanya.
Sangat sulit hanya mengandalkan MK untuk memperbaiki UU yang ada karena MK tidak akan memproses UU sebelum ada pengaduan dari luar. Oleh karena itu, perlu tindakan yang terstruktur oleh pemerintah dan DPR dengan melibatkan akademisi dan masyarakat untuk membahas kembali UU yang bermasalah.
Dalam situasi seperti ini, menurut Mahfud, dibutuhkan pemerintahan yang kuat, tetapi bukan otoriter. Kuat artinya memiliki tujuan jelas, aturan hukum yang jelas, dan siap menindak yang salah.
Sementara itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengusulkan agar pembahasan UU yang bermasalah melibatkan orang-orang bijak yang tidak terlibat politik praktis. Dengan demikian, UU tersebut bisa dibahas secara obyektif.
Menurut Sultan, Pancasila tidak akan bisa membumi jika tetap hanya dijadikan mitos tanpa memiliki model praktis dalam memecahkan masalah hidup masyarakat. Oleh karena itu, Pancasila perlu dikembangkan sebagai metodologi hidup atau ideologi praktis.
"Sekarang ini tidak ada lagi lembaga yang menangani aplikasi Pancasila. Bahkan, di dalam pendidikan pun Pancasila bukan lagi menjadi pelajaran wajib. Jika Pancasila tidak lagi menjadi perhatian pemerintah maupun masyarakat, ya berarti secara sengaja atau tidak sengaja telah meminggirkan Pancasila sebagai ideologi negara," tutur Sultan.
Source: nasional.kompas.com