H. Masagung (Tjio Wie Tay) : Pedagang Asongan yang Mengharumkan Islam
"Syukur alhamdulillah, pagi ini kita berkumpul bersamasama di Masjid al-A'raf ini dengan perasaan ikhlas dan bersih. Hati Masagung bersih hari ini. Semua ini berkat rahmat Allah SWT." Ungkapan bernada santai ini bagi sebagian warga ibu kota sudah tidak asing lagi terutama bagi jamaah pengajian Ahad pagi di masjid ber-AC itu. Ya, sapaan lembut itu tidak lain keluar dari mulut Haji Masagung. Sang pemilik Toko Buku Walisongo yang ramah. Ia juga anggota jamaah pengajian al-A'raf yang terhitung rajin mengikuti pengajian. Masagung biasanya selalu tampil mengawali acara dengan kata-katanya yang khas di atas.Namun sejak Senin, 24 September 1990, seusai shalat subuh, suara bersahabat Masagung itu tak akan lagi kita dengar. Masagung telah menghadap ke hadirat-Nya, berpulang ke rahmatullah di pagi yang masih basah. Kepergiannya sempat mengejutkan banyak pihak, lebih-lebih warga ibu kota yang memang sudah akrab dengan Masagung. Begitu tiba-tiba, hingga tak menitipkan wasiat barang satu kata pun.
Bahkan anaknya sendiri, Ketut Abdurrachman Masagung, yang baru satu minggu meninggalkan ayahnya, seakan tidak percaya ketika diberi tahu. Karena ketidakyakinan atas berpulangnya ayahanda, sempat ia dua kali menelepon kembali kepada Ibu Sri Lestari, ibunya.
Dua minggu sebelum meninggal, Masagung merayakan ulang tahunnya ke-63 pada 8 September 1990, yang sebelumnya tidak pernah diadakan. Ada yang istimewa di luar ulang tahunnya sendiri. Yakni, si bungsu Ketut Abdurrachman Masagung menyatakan diri masuk Islam, mengikutiperjalanan ayahanda tercinta.
Peristiwa ini melahirkan kesan amat dalam bagi Masagung. Seolah mendapat hadiah besar dari Allah di hari ulang tahunnya. Kepada anaknya Ketut (Abdurrahrnn Masagung), ia menulis pesan, "Tak ada harta warisan dari Bapak yang terbaik serta berguna bagimu, kecuali dua pusaka ini, Al-Qur'an dan hadits."
Kita memang telah kehilangan seorang tokoh yang tangguh dalam mendakwahkan Islam. Dengan harta kekayaannya, Masagung berusaha agar Islam tetap harum, sebagaimana cita-citanya dalam mewujudkan Proyek Mengharumkan Islam. Walaupun Masagung belum melihat keseluruhan cita-citanya terlaksana, tapi semangat untuk membangun prnyek tersebut erat terpatri dalam dirinya.
"Ini tersurat dalam salah satu wasiatnya, yang bertanggal 23 September 1990," kata istri beliau, Sri Lestari. "Setiap manusia jelas tidak dapat lepas dari kodrat dan qadar Allah. Hanya waktu sajalah yang berbeda, tetapi semuanya akan kembali ke sana," ungkap K.H. Hasan Basri ketika menyampaikan sambutannya di Masjid al-A'raf, sebelum jenazah disemayamkan.
"Masagung merupakan seorang sahabat yang paling baik, kemanusiaannya tinggi, ukhuwah lslamiyahnya kental, perasaannva halus, tidak pernah menyakiti hati orang lain. Kita merasa nikmat bersaudara dengan beliau."
Ungkapan K.H. Hasan Basri rasanya tidak berlebihan. Dari sejumlah karyawan yang sehari hari mendampingi Masagung, juga menyatakan hal yang sama. Yang tertinggal bagi sejumlah karyawan hanyalah kenangan manis mengenai perilaku Masagung. Kenyataan itu juga diakui beberapa karyawan terdekatnya. Bukan saja karyawan perusahaannya yang merasa sedih dan kehilangan seseorang yang selama ini memberikan dukungan moril serta materiil cukup banyak. Hari itu, semua yang mengenal Masagung merasakan sesuatu yang hilang dan lubuk hatinya. Ya, sesuatu yang tidak pernah akan kembali lagi.
Dalam diri Masagung tidak tampak sedikit pun sosok muslim keturunan yang terkesan eksklusif. Nasionalismenya yang kokoh, menyebabkan ia pandai bergaul dengan siapa saja. Apalagi yang seagama, tanpa memandang dari mana is berasal. Buat Masagung, berbaur bersama umat merupakan ibadah yang besar pahalanya. Sikap yang tidak pernah membeda-bedakan ini menumbuhkan kesan di sebagian kawankawannya. Masagung merupakan pendekar dalam menjalankan misi pembauran di kalangan muslim keturunan.
Pedagang Emperan
8 September 1927, ketika Jakarta masih menandang nama Batavia, lahirlah seorang anak yang bernama Tjio Wie Tay. Usia empat tahun bagi Wie Tay, yang tak lain adalah Masagung kecil, merupakan awal dari kesedihan karena ditinggal oleh ayahnya untuk selama-lamanya. Kondisi ekonomi yang serba kurang, semakin melahirkan beban berat yang hares ditanggungnya bersama keluarga. Tak aneh kalau soak usia kanak-kanak, Wie Tay akrab dengan kemiskinan. Tapi kondisi yang sering membuat Wie Tay mengurut dada, belakangan makin mempertajam naluri bisnisnva yang di kemudian hari dirasakan sangat membahagiakan hidupnya.
Awal mulanya, Masagung kecil berdagang buah semangka yang dijajakan di pinggir jalan atau emperan-emperan toko. Tidak puas hanya dengan ini, Masagung beralih berjualan rokok ketengan. Setelah silih berganti usaha, akhirnya Masagung memantapkan hati untuk mendirikan sebuah CV yakni Gunung Agung, dengan mencurahkan perhatian di bidang penerbitan serta penjualan buku. Usaha ini dirintisnya pada tahun 1953, sampai usahanya berkembang pesat seperti saat ini.
Masagung pulalah pedagang pertama, dengan logo Gunung Agung, distributor/ importir majalah Time, Newsweek, dan banyak lagi yang lain. la pula yang mengembangkan pemasaran film Kodak. Bahkan, pemasaran kamera Canonbuatan Jepang yang terkenal itu. la satu-satunya pedagang valuta asing (valas) yang memiliki jenis mata uang terlengkap dengan jam buka yang panjang (sampai malam).
Tahun 1975, Masagung memeluk agama Islam. Lima tahun setelah keislamannya, ia menunaikan ibadah haji, yang diulanginya dua tahun kemudian bersama sang istri. Saat beribadah haji pertama, ia mulai mencanangkan niat dalam cita-citanya untuk ikut mengharumkan Islam melalui yayasan yang ia bentuk.
Ibu Sri Lestari, ditegur almarhum ketika diketahuinya memperbesar foto Masagung di atas bangunan Walisongo di Yogyakarta. Ia mengatakan, "Untuk apa diperbesar?" Gedung Walisongo Yogyakarta tersebut bertingkat empat. Dibangun empat bulan lebih cepat dari rencana. Rencananya, ia akan turut meresmikannya pada Oktober 1990.
Masagung, seorang pedagang emperan yang kemudian melejit jadi usahawan muslim terkemuka kini telah tiada. Sejumlah kenangan berikut cita-cita telah ia tanamkan sejak masa hidupnya. Seperti Yayasan Idayu, perpustakaan yang memiliki puluhan ribu buku, yang bila ditilik pemasukan dari iuran anggota, tak akan mampu membiayai petugas cleaning service apalagi menggaji pegawainya. Dana rutin ini ia keluarkan dari koceknya sendiri.
Semoga amal ibadahnya akan jadi penyulut semangat bagi anak dan istrinya, juga umat yang ingin mengharumkan Islam. Selamat jalan Masagung. Dalam pangkuan-Nyalah segala sesuatu akan kembali. (Gus/F. Rakashima dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/)
Source: www.mualaf.com