• img

Mencecap Kearifan Lokal Kampung Kuta

blog sauted | Minggu, 28 Oktober 2012 | 16:36

Kampung Kuta terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis. Kampung yang berjarak sekitar 45 kilometer dari pusat kota Ciamis itu terbilang istimewa. Warga kampung seluas 97 hektar ini kukuh memelihara tradisi leluhur berusia ratusan tahun yang membingkai kehidupan masyarakatnya.

Nama Kampung Kuta bisa jadi mengacu pada lokasi kampung di lembah curam sedalam 75 meter dan dikelilingi tebing dan perbukitan. Dalam bahasa Sunda, hal itu disebut kuta (artinya pagar tembok). Aliran listrik sudah masuk ke kampung ini sejak 1996 sehingga memungkinkan warganya menikmati peralatan elektronik, seperti televisi, radio, dan telepon seluler. Namun, warga Kampung Kuta masih mempertahankan bentuk rumah tradisional khas Sunda.

Rumah yang dimaksud berbentuk panggung dengan tinggi 50-60 sentimeter di atas permukaan tanah. Bentuk rumah persegi panjang, rata-rata berukuran 6 meter x 10 meter. Dinding rumah terbuat dari papan atau bilik bambu, sementara atap dari rumbia dan ijuk. Warga Kampung Kuta mempertahankan bentuk rumah itu karena mematuhi leluhur yang melarang membangun rumah tembok beratap genteng.

Selain rumah tradisional, tradisi leluhur yang juga masih dijalankan adalah memasak menggunakan tungku berbahan bakar kayu. Ketentuan bahwa lelaki dilarang masuk tempat penyimpanan beras atau keperluan dapur pun tetap dijaga.

Kampung Kuta terletak di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Namun, warga kampung menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari tanpa sedikit pun tercampur bahasa Jawa. Begitu pula nama orang harus menggunakan nama dari bahasa Sunda dan tidak boleh dari bahasa Jawa.

Upacara adat yang tetap dilakukan di Kampung Kuta antara lain nyuguh, hajat bumi, dan babarit. Upacara itu berkaitan dengan kepentingan seluruh warga. Upacara nyuguh dilakukan setiap bulan Maulud di balai dusun. Selain memperingati Maulud Nabi Muhammad, upacara itu juga merupakan ungkapan syukur karena masyarakat Kampung Kuta diberi rezeki dan terhindar dari bencana. Hutan lindung

Tradisi lain yang masih dipegang warga Kampung Kuta adalah kepatuhan menjaga hutan lindung seluas 40 hektar. Hutan yang disebut dengan Leuweung Gede (hutan besar) itu menjadi sumber air dan benteng alam bagi kampung tersebut.

Sejumlah aturan adat diberlakukan bagi mereka yang masuk ke kawasan hutan keramat itu. Leuweung Gede hanya boleh dimasuki setiap Senin dan Jumat. Mereka yang masuk tidak boleh mengenakan perhiasan, alas kaki, pakaian berwarna hitam-hitam, dan pakaian seragam pegawai negeri beserta lambang jabatannya. Tidak diperbolehkan meludah dan mengambil apa pun di dalam hutan.

Aturan itu menjaga hutan tetap lestari. Pohon keras, seperti cauri, pari, rotan, dan enau berumur puluhan tahun, tumbuh subur tanpa gangguan. Begitu pula berbagai jenis burung dan mamalia, seperti elang dan monyet, hidup nyaman dalam habitatnya.

Mayoritas warga Kampung Kuta bermata pencarian sebagai pembuat gula aren. Sekitar 1.000 pohon aren tumbuh di kampung tersebut dan masih produktif. Setiap keluarga rata-rata memiliki 7-8 pohon aren yang diambil niranya. Warga wajib memelihara pohon aren itu dan dilarang menebangnya.

Kearifan lokal itu mengantarkan mereka meraih penghargaan Kalpataru pada 2002 berkat prestasinya menjaga kelestarian hutan lindung (Leuweung Gede).

Tradisi leluhur dalam menjaga hutan terbukti membuat kampung tersebut tidak pernah kekurangan air selama musim kemarau atau kebanjiran pada musim hujan, padahal lokasinya di lembah. Tradisi mempertahankan rumah panggung berbahan kayu terbukti mampu meredam dampak gempa bumi. (ERI/LITBANG KOMPAS)

Source: health.kompas.com

Saat ini SAHABAT berada di area blog sauted dengan artikel Mencecap Kearifan Lokal Kampung Kuta.
<< >>