• img

Iwan Fals, Apa Katamu?

blog sauted | Senin, 10 Desember 2012 | 12:55

Si anjing liar dari Jogjakarta
Apa kabarmu
Kurindu gongongmu
Yang keras hantam cadas

Saat itu, tahun 1986. Cengkeraman rezim Orde Baru masih begitu dalam. Kehadiran popor senapan dan sangkur militer untuk mengatasi kerusuhan masyarakat bukanlah barang istimewa. Pembrangusan dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, khususnya bagi mereka yang berani mengambil nada dasar berbeda dari nyanyian para penguasa. Hanya ada satu jalan untuk bisa hidup lepas dari ketakutan: cari aman dan ikuti apa kata pemerintah. Sungguh ahli rezim pada saat itu menggunakan ketakutan untuk mengendalikan keadaan.

Namun demikian, beberapa pribadi enggan dijadikan tawanan ketakutan. Mereka memilih bersuara lantang, mewartakan kenyataan. Salah satu di antaranya adalah (Alm) WS Rendra, penyair bergelar si Burung Merak. Seorang pengagum enggan menyapanya sebagai Burung Merak, tetapi memilih sapaan lain semacam si anjing liar, si kuda binal, si mata elang... Pengagum dan sekligus perindu itu adalah Iwan Fals, yang di tahun 1986 itu melemparkan sebuah album, Ethiopia. Salah satu lagu dalam album itu berjudul Willy, yang beberapa larik syair awalnya tersaji di awaltulisan ini.

Baik Rendra maupun Iwan Fals sama-sama menolak untuk bungkam. Lewat lagunya, Willy, Iwan Fals mengungkapkan betapa figur Rendra telah berhasil menyihirnya untuk terus bernyanyi menjadi saksi. Tidak mungkin menyaksikan begitu saja sarang burung dihancurkan oleh panah tajam orang yang memburu rembulan tanpa mewartakannya. Tidak mungkin melihat orang-orang ditumbalkan semena-mena demi sesuatu yang disebut pembangunan tanpa mengabarkannya. Kenyataan harus dikabarkan lewat beragam cara. Dan Iwan Fals memllih nyanyian sebagai medianya, senar gitar sebagai kawannya dan melalui kedua hal itu kata-kata ditaburkan sebagai benih kesadaran.

Beragam peristiwa yang terjadi di tanah air (juga di mancanegara) direkam oleh Iwan Fals lewat lagu-lagunya. Mereka bercerita tentang banyak hal: mulai dari peristiwa sosial kemasyarakatan seperti kehidupan guru yang sulit (Oemar Bakri), tenggelamnya kapal ferry, Tampomas (Celoteh Camar Tolol dan Cemar), tabrakan kereta api di Bintaro (1910) sampai peristiwa alam seperti meletusnya gunung Galunggung (Tolong Dengar Tuhan), bencana kelaparan di Ethiopia (Ethiopia) atau hilangnya hutan bagi orang-orang pedalaman (Balada Orang-orang Pedalaman); mulai lagi dari kehidupan pribadi mereka yang terlupakan serupa para pekerja seksual (Perempuan Malam; Azan Subuh Masih di Telinga; Doa Pengobral Dosa), bocah tukang semir sepatu (Siang Seberang Istana), bocah penjual koran (Sore di Tugu Pancoran), seorang preman (Sugali), anak seorang pelacur (Gali-gongli) sampai kisah para tokoh besar bangsa ini seperti bung Hatta (Hatta) dan WS Rendra (Willy).

Singkat kata, Iwan Fals adalah penyaksi dan lagu-lagunya adalah kesaksian atas kehidupan. Beliau tidak ingin menceramahi maupun mengkuliahi. Meski pernah menjalani kuliah ilmu-ilmu sosial, Iwan tidak banyak berteori dalam lagu-lagunya. Ia memilih menggunakan kaca mata orang kebanyakan untuk memahami dan menceritakan keadaan. Bento, satu tokoh rekaan dalam sebuah lagunya, tidak digambarkan sebagai seseorang yang menguasai industri hulu semacam pabrik terigu atau pemilik pengilangan minyak. Kekayaan si tokoh ditampilkan secara sederhana: rumah real estate, mobil banyak, harta berlimpah. Dengan cara seperti ini, Iwan Fals berupaya mewartakan kebenaran, mengabarkan kenyataan dan menyentak kesadaran pendengarnya tentang situasi hidup berbangsa.

Maka, cukup mengherankan bagi saya kalau di tengah gegap gempita persoalan BBM belakangan ini, suara Iwan Fals tidak terdengar lagi. Pertanyaan yang dulu diajukannya kepada Rendra, sekarang dapat saya arahkan pada dirinya: Iwan Fals,di mana kini kau berada, masihkah nyaring suaramu/ …di mana runcing kokoh paruhmu/ tetapkah angkuhmu hadang keruh/…masih sukakah kau mendengar/ dengus nafas saudara kita yang terkapar/masih sukakah kau melihat/ butir keringat kaum kecil yang terjerat/ oleh slogan-slogan manis sang hati laknat/ oleh janji-janji muluk tanpa bukti…

Akan tetapi, adilkah saya bertanya demikian padanya? Kalau di tahun 1986, Iwan Fals bertanya kepada Rendra lewat sebuah lagu dan terus bersaksi lewat lagu-lagunya, apa yang saya buat selain bertanya tanpa melakukan apa-apa? Tidak. Saya tidak bisa bertanya demikian padanya. Tidak adil jadinya. Rasanya, saya menjadi seperti anak kecil yang maunya dipenuhi semua keinginannya tanpa usaha. Saya teringat, bagaimana satu kali Iwan Fals sendiri pernah berkata kurang lebih demikian: kalau lagu-lagu saya saat ini tidak lagi mewakili hati kalian, silahkan mengambil lagu-lagu saya yang lama. Kalau dulu Iwan berdiri bebas di sela-sela cengkeraman kuku tajam penguasa, sekarang dia tetap memilih bebas di hadapan tuntutan penggemarnya. Seorang penyaksi tidak bisa dipaksakan. Dia dapat bersaksi justru selama bebas mengikuti hati nuraninya sendiri.

Yang bisa saya tanyakan sekarang adalah: mengapa tidak muncul Rendra-renda atau Iwan-iwan muda di tengah kita? Apakah generasi kita adalah angkatan yang sudah dijinakkan oleh beragam kemudahan dan fasilitas? Bagaimana caranya supaya muncul genial-genial yang tidak saja ahli berorasi dan pandai jadi KORLAP, tetapi juga yang pintar mengubah emosi kemarahan menjadi sebentuk seni yang mencerahkan? Apakah suasana sekarang yang tidak segarang jaman ORBA dahulu justru membuat angkatan mudanya melembek dan tidak merasa perlu mengasah segenap kemampuan yang ada dalam diri mereka? Saya merasa yakin bahwa di tengah barisan muda jaman sekarang, masih ada yang terjun dan bergulat langsung dengan masyarakat kecil. Hanya saja, suara mereka tidak terdengar, kalah bersaing dengan pengeras suara parlemen jalanan yang marak belakangan ini.

Parlemen jalanan sebagaimana ramai diberitakan memang menunjukkan angkatan muda yang berani lantang menyuarakan aspirasinya. Tetapi sebagai individu, bagaimana gaya dan sepak terjang mereka? Apakah mereka juga individu-individu yang bebas? Husss… jangan banyak tanya. Turun ke jalanan saja gak mau, pake banyak tanya lagi.

Ya sudahlah… kutanyakan saja pada sepi….

Ville-Lumière, Sabtu 31 Maret 2012
Source: sosok.kompasiana.com

Saat ini SAHABAT berada di area blog sauted dengan artikel Iwan Fals, Apa Katamu?.
<< >>