• img

Asa yang Tidak Pernah Padam

blog sauted | Rabu, 16 Mei 2012 | 18:00

Kompas/Agus Susanto
Anak-anak SD Inpres Wuroba membawa papan tulis dan kursi setelah mengikuti ujian nasional sekolah dasar di SD Inpres Walelagama, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Selasa (8/5). Kursi dan papan tulis tersebut untuk menambah inventaris sekolah mereka. Selama pelaksanaan ujian nasional, peserta dari lima sekolah dasar digabung di satu tempat untuk memudahkan pengawasan.
Oleh: B Josie Susilo Hardianto

Sekolah arigi weago aperage weago

Hat tago weti-weti, hagaramo nikitlasu a...o

An nogo worek-worek, hagaramo nikitlasu wae

hulu leka-leka, iawuraregoi a...o

werene leka-leka, tumawuraregoi wae..


”Sekolah sangat susah, sekolah benar-benar sangat susah. Saya sekolah banyak pengorbanan, kamu pun sekolah banyak tantangan. Kami sekolah di balik gunung, kami sekolah di balik danau,” kata Selinius Wetipo mengartikan lagu dalam bahasa Dani itu.

Dengan wilayah bergunung-gunung, lembah yang dalam, dan ngarai yang terjal, juga berhutan lebat, Papua memang memberi tantangan geografis yang ekstrem. Namun, setiap pagi, pada jalan-jalan setapak, tercetak jejak-jejak kaki anak-anak yang bergegas menuju sekolah-sekolah mereka. Tanpa alas kaki, mereka mendaki bukit berbatu dan menyusuri tanah berlumpur.

Semangat anak-anak di wilayah Pegunungan Tengah Papua untuk belajar sangat besar. Namun, harus diakui, sarana dan prasarana penunjang terbatas. Banyak sekolah dasar yang berada di kampung-kampung yang tersebar di lembah dan lereng pegunungan di sekitar Wamena belum memiliki cukup guru. Kalaupun ada, tak jarang, guru-guru itu tidak selalu hadir untuk mengajar.

Salah satunya di Jalelo, Distrik Assolokobal. Hampir setiap hari, SD Inpres Upiyagaima di daerah itu diasuh oleh Adin Lokobal, seorang tenaga honorer. SD yang terdiri dari kelas I hingga kelas III tersebut sebenarnya memiliki empat tenaga guru. Namun, keempat guru itu sering berhalangan.

Salah satu hambatan adalah para guru tersebut tinggal di pinggir jalan raya Wamena-Kurima yang terletak di lembah. ”Untuk mencapai gedung SD Inpres Upiyagaima, mereka harus berjalan kaki lebih kurang tiga jam dengan mendaki pegunungan,” ujar Arnos Asso, anggota Komite SD Upiyagaima.

Bangun rumah guru

Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya Hasuka Hisage mengakui kondisi yang memprihatinkan tersebut. Untuk itu, pihaknya tengah berupaya agar di sekolah-sekolah terpencil dibangun perumahan untuk guru.

Tahun 2011 telah dibangun 22 rumah guru. Pada tahun 2012 akan dibangun lagi sekitar 22 rumah guru, terutama untuk wilayah pedalaman.

Selain itu, kini juga sedang diupayakan peningkatan kapasitas para guru. Sasarannya tidak hanya mengembangkan kemampuan guru mengajar, tetapi juga empati mereka.

”Kapasitas personal sebagai pengajar penting,” kata Kepala Bidang Peningkatan Mutu Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya Bambang Handoyo.

Dalam proses pendidikan, loyalitas dan panggilan menjadi seorang guru adalah sisi lain dari semangat anak-anak untuk belajar.

Namun, kondisi ideal itu tidak mudah diwujudkan di Papua. Tantangan alam dan keterbatasan sarana tidak hanya membatasi arus transportasi, tetapi juga informasi. Pendidikan di wilayah perkotaan berkembang karena akses terhadap transportasi dan informasi mudah. Kondisi di pinggiran dan pedalaman selalu berbanding terbalik.

Di SD Inpres Megapura, misalnya, satu buku pelajaran digunakan lima siswa. Meski demikian, bukan berarti semangat untuk mendampingi para siswa luntur.

”Kami tetap berupaya agar kualitas pendidikan terjaga,” kata Sih Asmoko yang telah mengajar di wilayah Jayawijaya sejak 26 tahun lalu.

Semangat serta niat kuat dari murid dan guru untuk menjadikan pendidikan di Papua berkembang adalah kunci keberhasilan. Hal tersebut akan makin berhasil apabila kesadaran orangtua untuk ikut mendukung anak-anak ke sekolah cukup optimal. Melihat Kelitus Wetipo dan Selinius Wetipo, siswa SD Inpres Megapura, belajar dalam remang cahaya lilin seolah memberi keyakinan dan harapan.

Di Wamena, konflik antara semangat untuk maju pada satu sisi dan keterbatasan fasilitas serta derasnya arus perubahan memunculkan ekses lain. Sejumlah anak usia sekolah menghabiskan hari-hari mereka di Pasar Jibama dan jalan raya. Baju lusuh, mata merah, dan mereka berjalan gontai karena keseringan menghirup uap lem Aica Aibon yang memabukkan.

Kelitus Wetipo tidak ingin seperti itu. Dia tekun belajar sebab ingin seperti kakaknya, Meriana Wetipo, yang saat ini mengecap pendidikan di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Tak heran ketika Selinius Wetipo menyanyikan lagu berjudul ”Sekolah Arigi Weago” itu, Kelitus bertepuk tangan riang, kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan.

Olimpiade matematika

Lagu itu seolah mewakili semangat anak-anak muda yang tinggal dalam honai laki-laki milik Ruben Wetipo, tetua kampung adat yang berada di Walesi, Kabupaten Jayawijaya. Malam itu, meski hanya diterangi cahaya lilin, mereka menghabiskan waktu dengan belajar.

Cahaya sebatang lilin menjadi saksi betapa keras usaha mereka. Perih? Kelitus Wetipo, siswa kelas IV SD Santo Stefanus Wouma, Wamena, itu mengatakan, mata mereka telah terbiasa membaca dalam remang cahaya lilin. Tak ada keluhan.

Ruben Wetipo, tetua komunitas tempat honai laki-laki itu berada, dengan bangga mengatakan, dari honai itu telah dihasilkan delapan sarjana, di antaranya sarjana sosiologi dan filsafat. Dari honai kecil di pinggiran kota Wamena itu pula lahir pemenang lomba olimpiade matematika yang mewakili Kabupaten Jayawijaya. ”Saat ini, anak saya, Meriana Wetipo, menempuh pendidikan di Surya Institute (lembaga yang didirikan Prof Yohanes Surya),” ungkap Ruben.

Mereka mampu menjadi mandiri, memilih untuk menggunakan waktu dengan giat belajar meski dalam aneka keterbatasan. Seperti alunan lagu yang dinyanyikan Selinus Haluk, sekolah itu sangat susah, banyak tantangan, karena itu perlu kerja keras dan hanya dengan itu mimpi akan terwujud. (Sumber :Kompas Cetak)

Lusia Kus Anna
Source: edukasi.kompas.com

Saat ini SAHABAT berada di area blog sauted dengan artikel Asa yang Tidak Pernah Padam.
<< >>