Belajar Musik, Yuk!
ALEX FRITS
Addie MS bersama Twilite Orchestra dan pianis Levi Gunardi dalam pergelaran Cantabile, Kamis, 27 Januari 2011 di Balai Sarbini, Jakarta.
Addie MS bersama Twilite Orchestra dan pianis Levi Gunardi dalam pergelaran Cantabile, Kamis, 27 Januari 2011 di Balai Sarbini, Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS.com -- Hayo, siapa yang berani maju? Jangan takut, enggak ada hukumannya kok.” Konduktor Addie MS mengajak anak-anak didik di Perguruan Islam Al-Izhar Pondok Labu, Jakarta, mencoba menjadi konduktor.
Aqsa, seorang siswi, memberanikan diri mengacungkan jari dan bergerak maju. Dia mendapat arahan dari Purusha Irma, alumnus Al-Izhar yang bertindak sebagai konduktor. Aqsa akan memimpin Al-Izhar Community Choir and Orchestra (ACCO) memainkan “O Ina Ni Keke” seperti dilakukan Irma.
Addie bertanya, apakah tempo lagu daerah yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara, itu dimainkan terlalu pelan. Aqsa mengayunkan tongkat dirigen dan dengan hati-hati memimpin ACCO. ”O Ina Ni Keke” pun mengalun lembut.
Begitu komposisi selesai dimainkan, Addie mengajak anak-anak yang menonton latihan ACCO bertepuk tangan. ”Tepuk tangan buat Aqsa, dia berani mencoba.”
Latihan di lapangan basket sekolah itu merupakan sebagian kegiatan ACCO. Ketua Kompartemen Musik Al-Izhar Indirahadi mengatakan, komunitas ini tak beranggotakan siswa Al-Izhar saja. ”Selain siswa SD sampai SMA, ACCO juga beranggotakan alumnus, karyawan, juga guru,” katanya.
Siswi SMA Al-Izhar, Diandra Adelina Hadi (17), mengatakan, ia bergabung dengan ACCO sejak kelas VI SD. Bersekolah di Al-Izhar sejak TK, dia bergabung dengan komunitas ini mulai awal.
Sejak kelas I SD Diandra ikut les biola. Oleh karena itu, keberadaan ACCO membuatnya tertarik. Selain membuka peluang tampil dan mempraktikkan keterampilan bermusik, ia mendapat teman-teman baru.
Diandra senang, teman-teman barunya beragam, mulai tingkat SD sampai SMA. Ia juga berkenalan dengan guru, alumni, juga karyawan yang tergabung dalam komunitas ini. ”Asyik, banyak kenalan baru lintas umur, tapi bisa jadi dekat dan bersahabat.”
Masing-masing mempunyai tanggung jawab sesuai minatnya. Misalnya pemusik, ada yang memainkan biola, cello, suling (flute), klarinet, terompet, atau contrabass.
Sesekali Addie MS datang berbagi ilmu. Saat-saat demikian, Diandra dan anggota komunitas tak segan bertanya. Apalagi ketika mereka sedang bersiap untuk pentas.
”Misalnya, Oktober 2011 lalu, kami tampil di Ubud Writer’s Festival,” kata Diandra.
Komunitas
Indirahadi mengatakan, ACCO merupakan komunitas, bukan ekstrakurikuler. Oleh karena itu, komunitas ini terdiri dari guru, alumni, sampai karyawan. ”Biarpun sudah lulus dari Al-Izhar, (alumni) bisa tetap aktif di ACCO,” ungkapnya.
Seperti Diandra yang belajar musik sejak kanak-kanak, siswi SMAK Santa Ursula Bumi Serpong Damai, Nadia, mengenal alat musik sejak SD. Kira-kira umur sembilan tahun, ia belajar biola sekitar setahun.
Berhenti belajar biola, tak berarti dunia Nadia terputus dari musik. Kakak perempuannya, Lisa, saat itu bergabung dengan orkestra dan memainkan trombon atau contrabass. Ketika menonton drama, untuk pertama kali dia melihat obo yang dimainkan dalam orkestra. Nadia buta obo, mulai dari cara memegang, apalagi meniupnya.
”Tetapi, saya ingin belajar, sampai mencari gambar obo yang besarnya seperti obo beneran. Terus, saya potong biar bisa belajar megang obo,” cerita Nadia yang bergabung dalam orkestra di sekolah dan belajar obo.
Tak mudah belajar obo meski ia mempunyai dasar biola. Ia sempat kesulitan dan terpikir mengundurkan diri sekitar setahun setelah bergabung dengan orkestra. ”Susah banget menyesuaikan diri. Saya sempat mikir pengin mundur,” katanya.
Ketika menyampaikan maksudnya, Nadia diingatkan tak bisa seenaknya mengundurkan diri. Siapa pun yang sudah masuk orkestra berarti telah menetapkan pilihan. Anggota orkestra masuk lewat seleksi, tak bisa mundur begitu saja.
”Teman-teman menyemangati saya,” ujar Nadia yang batal keluar. Ia menyadari, belajar musik klasik secara tak langsung ikut melatih otak. ”Sampai sekarang, saya latihan seminggu sekali dan porsi latihan ditambah menjelang pentas,” ujarnya.
Keseimbangan otak
Addie MS mengemukakan, kegiatan orkestra di sekolah bermanfaat besar. Orkestra tak bermaksud menjadikan siswa sebagai musisi, tetapi manusia dengan keseimbangan antara otak kiri dan otak kanan.
”Agar tak hanya menganggap keahlian kognitif, musik bisa menjadi kompensasi, musik tradisi maupun klasik Barat,” kata Addie yang aktif berkeliling berbagai sekolah, setelah pada 1998 frustrasi melihat Indonesia tak lagi bangsa yang cinta damai.
Manusia sebaiknya jangan mengabaikan seni. Dia melihat begitu mengabaikan musik, sensitivitas kita terhadap perbedaan mudah dipolitisasi. ”Dalam seni, kita belajar tentang berbagai perbedaan yang menjelma menjadi kesatuan,” ujarnya.
Selain itu, kegiatan serupa mendorong siswa belajar sportif, disiplin, dan bekerja dalam tim. Misalnya, pemain terompet bermain tak sesuai petunjuk konduktor, keseluruhan musik yang ditampilkan runtuh.
”Setiap individu dituntut bertenggang rasa dan tidak bisa berlaku sesuka gue,” kata Addie yang menganggap pelajaran berkompetisi yang baik ada dalam musik klasik.
Instrumen musik amat beragam bentuk dan melodinya. Namun, suara-suara berbeda itu mampu menghasilkan melodi yang sinergi dan indah dalam perbedaan. Jadi, mengapa tak belajar menerima perbedaan dari musik dengan menggalakkan kegiatan bermusik di sekolah?
(FABIOLA PONTO)
Source: entertainment.kompas.com