Membumikan Gerakan Kebersihan
"Hidup bersih perlu dibudayakan dan menjadi bagian gaya hidup masyarakat. Cuci tangan sebelum makan harus menjadi kebiasaan"
GERAKAN kebersihan kota masih sering timbul tenggelam. Tidak hanya di Kota Semarang tetapi juga di kota-kota lain di Indonesia. Suatu saat, terutama ketika ada pejabat baru, gerakan kebersihan kota merebak di mana-mana. Beritanya pun dibuat besar di media massa.
Tetapi hal itu sering tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, secara perlahan gerakan itu menghilang, bahkan tidak ada lagi kabarnya. Sampah pun menumpuk di mana-mana, terutama di beberapa sungai yang kemudian mengakibatkan banjir di banyak tempat seperti dilaporkan Suara Merdeka baru-baru ini.
Mengapa kebersihan masih selalu menjadi problem banyak kota, dan gerakan kebersihan kota sering timbul tenggelam? Hemat penulis, kebersihan belum menjadi budaya masyarakat kita. Belum menjadi bagian hidup.
Sekalipun umumnya mereka telah mengerti dengan sangat baik tentang pentingnya kebersihan kota bahwa kebersihan harus menjadi perilaku sehari-hari, hal ini menjadi problem yang tak pernah selesai dan tidak pernah digarap sampai tuntas. Banyak bangunan dan gedung dengan desain bagus, tetapi dalam beberapa tahun sudah menjadi kumuh. Kebersihan tidak tampak menjadi bagian utama dari perawatan bangunan.
KH Yusuf Mansyur, guru sedekah, pernah secara khusus mengamati persampahan sewaktu berdakwah di Hong Kong dan Jepang. Ketika mengisi pengajian di Hong Kong, dia merasa dikuntit beberapa orang. Jangan-jangan itu intel, pikir sang Kiai. Maklum, umat Islam sedang dicurigai di beberapa negara lain terkait isu terorisme.
Dia pun bertanya kepada panitia. Siapa mereka, apakah petugas intel? Jawab panitia, bukan Pak Kiai, mereka petugas kebersihan yang siap membersihkan sampah jika ada jamaah pengajian buang sampah sembarangan.
Berbeda dari masyarakat Hong Kong. Begitu acara konser, rapat umum, atau pameran selesai, lapangan atau tempat acara tetap bersih.Tidak ada sampah berserakan, seperti biasa kita saksikan di Indonesia. Setelah acara hiburan atau salat id, sampah atau kertas koran berserakan di Lapangan Simpanglima.
Hal serupa ia temui di Jepang. Ketika ia melihat sampah berserakan di pinggir jalan, para penjemputnya mengatakan itu ulah beberapa orang Indonesia di Jepang. Kiai Yusuf menyatakan sedih menerima laporan seperti itu. Masyarakat kita belum bisa hidup bersih, termasuk mereka yang merantau di luar negeri.
Padahal, hidup bersih sudah diajarkan sejak kecil, sejak bangku TK dan SD. Tetapi mengapa kebersihan masih menjadi problem besar? Masalahnya, kebersihan belum menjadi budaya masyarakat. Kita tak pernah sungguh-sungguh membangun budaya bersih. Hidup bersih hanya diajarkan secara teori, tetapi tak dijadikan kebiasaan hidup di seluruh lapisan masyarakat.
Masyarakat Beradab
Prof Dr HM Ali Mansyur, guru besar Unissula Semarang, mencoba membangun budaya hidup bersih di jamaah pengajian yang diampunya, yaitu Pengajian Ahad Pagi Bersama (PAPB). Usai pengajian tiap Minggu pagi, jamaah yang berjumlah 500-600 orang langsung membuang sampah sendiri ke tempat yang disiapkan. Di tempat pengajian Prof Ali tidak ada sampah berserakan usai acara. Jamaah dibiasakan terampil hidup bersih.
Hidup bersih perlu dibudayakan dan menjadi bagian hidup masyarakat. Cuci tangan sebelum makan harus menjadi kebiasaan yang tidak boleh dilupakan. Pendek kata, gerakan kebersihan kota, termasuk kebersihan di lingkungan perumahan, perkampungan, ataupun di rumah individu, kantor, masjid, gereja, terminal, perusahaan, dan sebagainya, harus terus-menerus dilakukan tanpa henti. Hidup bersih tidak cukup diomongkan tetapi harus dipraktikkan.
Kita tidak boleh merasa lelah untuk hidup bersih. Hal ini sangat penting bukan sekadar biar kota kita mendapat Adipura atau penghargaan lainnya melainkan untuk kenyamanan dan kesehatan. Bahkan, hidup bersih adalah ciri masyarakat beradab, berbudaya, dan berakhlak mulia. Tentu saja, hal ini memerlukan infrastruktur yang memadai. (10)
— Sudarto, wartawan di Semarang
Source: www.suaramerdeka.com.