• img

Negeri Bersahaja Bernama Kaitetu

blog sauted | Jumat, 08 Juni 2012 | 21:29

Negeri Bersahaja Bernama Kaitetu
HAZMIRULLAH/"PRLM"MASJID Tua Wapauwe jadi kebanggaan warga Desa Kaitetu, Ambon.*

AMBON, (PRLM).- Desa Kaitetu tersembunyi 60-70 kilometer di utara Kota Ambon, Maluku, di balik sebuah bukit yang cukup tinggi. Secara administratif, desa itu termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Namun, sesungguhnya, Kaitetu merupakan salah satu wajah Pulau Ambon. Soalnya, ia langsung berhadapan dengan Pulau Seram. Penduduk setempat lebih senang menyebut kampung halamannya sebagai Negeri Kaitetu.

Namun, suasana Kaitetu jauh dari hiruk-pikuk. Inilah yang membedakannya dengan ibu kota provinsi. Penduduk Kaitetu, juga sejumlah desa di sekitarnya, seperti Hila dan Wakal, hidup dalam kesahajaan. Sebagian besar mereka berpenghidupan sebagai nelayan.

Meskipun berukuran kecil, sepertinya lay out Desa Kaitetu sudah dipersiapkan dengan matang. Rumah-rumah penduduk berbaris rapi di pinggir jalan-jalan mungil yang lurus dan dilengkapi dengan banyak simpang empat. Ya, permukiman di desa itu seakan-akan terdiri atas beberapa blok.

Berdasarkan sahibul hikayat, Kaitetu merupakan desa pertama di Pulau Ambon. Desa itu dibangun oleh penduduk asli Pulau Ambon yang memutuskan untuk turun gunung pada pertengahan abad ke-17. ”Orang-orang yang turun ke tepi pantai ini sebenarnya generasi lanjutan. Generasi pertama leluhur kami dulunya bermukim di Gunung (Bukit-red) Wawane, delapan kilometer dari pantai. Entah sejak kapan mereka hidup di sana. Yang jelas, pada awal abad ke-15, mereka sudah hidup di sana dan memeluk agama Islam. Konon, orang yang menyebarkan agama Islam di sini adalah para pedagang berkebangsaan Arab,” ungkap Abdul Majid Iha (62), tokoh masyarakat setempat.

Mereka punya bukti, yakni Masjid Tua Wapauwe yang berdiri di tengah desa. Menurut Abdul Majid, masjid itu dibangun oleh seorang ulama sekaligus pemimpin bernama Muhammad Ari Kulapessy pada tahun 1414. Masjid itu dibangun di perkampungan penduduk yang kala itu masih berada di atas Bukit Wawane. ”Setelah beliau wafat, tampuk kepemimpinan diteruskan oleh Imam Rijalli. Pada tahun 1614, ia memutuskan untuk memindahkan kampung ke Bukit Tehalle, enam kilometer di timur Bukit Wawane,” katanya.

Suatu pagi, pada tahun 1664, masyarakat terkejut bukan main. Soalnya, masjid tak lagi berada di tempatnya, berpindah ke sebuah lokasi kosong di tepi pantai. Masjid itu terpisah beberapa meter dari gereja dan benteng yang dibangun oleh Portugis. ”Masjid berpindah secara gaib. Bangunannya utuh, 4 tiang utama dan 12 tiang pendukung, dan berbagai perlengkapannya, seperti mimbar khutbah, beduk, lampu kuningan, dan mushaf Alquran hasil tulisan tangan tahun 1550. Bahkan, mimbar sudah dilengkapi dengan panji dari kain yang berwarna merah dan putih. Wallaahu a’lam,” tutur Abdul Majid. Sejak itulah, secara bergelombang, masyarakat menghuni lokasi baru yang kelak dinamakan Desa Kaitetu.

Masjid itu berukuran mungil, hanya 10 x 10 meter, dengan kerangka terbuat dari berbagai jenis kayu. Empat tiang utama terbuat dari kayu nani, sedangkan 12 tiang pendukung dan balok terbuat dari kayu merah. ”Tiang utama dan tiang pendukung sama sekali belum pernah diganti. Itu berarti, umurnya sudah hampir enam ratus tahun. Satu hal lagi, tak satu batang paku pun digunakan di masjid ini,” ucapnya.

Untuk kerangka kubah, digunakan dua jenis kayu, yakni linggoa dan bintanggor. Selain itu, daun sagu digunakan sebagai atap masjid, sedangkan dindingnya terbuat dari gaba-gaba (pelepah sagu). ”Atap dan dinding sudah tidak asli lagi, sudah beberapa kali diganti. Untuk dinding, biasanya diganti dalam 20-25 tahun. Sekarang tidak begitu banyak gaba-gaba yang digunakan. Soalnya, setengah dinding sudah terbuat dari batu bata. Sementara atap biasanya kami ganti dalam kurun waktu 5-10 tahun. Masyarakat seluruh desa kami minta menyumbang, satu keluarga 25 lembar atap,” ujar Abdul Majid.

Satu keunikan lainnya, empat sudah atap dihiasi dengan ukiran kayu berbentuk seperti batu nisan. Sudut timur dan barat berhiaskan ukiran dengan tulisan ”Allah Muhammad”, sedangkan utara dan selatan bertuliskan ”Muhammad”. ”Sampai sekarang, terus terang, kami tidak mengerti apa maksud semua ini,” tuturnya.(A-125/A-147)***
Source: www.pikiran-rakyat.com

Saat ini SAHABAT berada di area blog sauted dengan artikel Negeri Bersahaja Bernama Kaitetu.
<< >>