Pendidikan dan Pengajaran
Oleh: Fauzi Aziz |
Fauzi Aziz |
SEJAK peristiwa tawuran yang tak kunjung bisa diselesaikan, ramailah di media bermunculan komentar, pendapat dan kritik dari berbagai kalangan, mulai dari yang ahli sampai yang setengah ahli dan yang tidak ahli membicarakan tentang sistem pendidikan di Indonesia.
Tawuran terjadi bisa dikatakan karena pendidikan hanya diterima melalui kuping kanan dan keluar di kuping kiri. Jadi hanya numpang lewat saja. Opini ini tidak mau terjebak pada diskursus bahwa sistem pendidikan nasional ada yang salah. Tapi jika kita lihat dalam keseharian, mungkin memang benar ada yang salah, atau paling tidak persepsinya dalam memahami konsep pendidikan itu sendiri.
Anak didik di sekolah diajari 2×2=4 dan YES dalam bahasa Indonesia artinya YA. Maka opini mengatakan bahwa ini bukan pendidikan, tapi pengajaran. Betul nggak pak Mendiknas. Makanya banyak pihak mengatakan bahwa pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama, yakni orang tua, guru dan tokoh masyarakat.
Mengapa demikian? Mari kita jawab sendiri. Belajar matematika atau bahasa Inggris di sekolah akan bermakna sebagai sebuah hasil dari pendidikan bilamana si anak didik melalui satu proses yang panjang dapat menggunakannya dengan benar untuk kepentingan yang luas bagi pembangunan peradaban dan bukan untuk sekedar menggapai kepentingan yang sempit, sekedar pintar, trampil dan ahli.
Jika output-nya hanya menjadikan manusia pintar, trampil dan ahli, hal yang demikian adalah menjadi tanggung jawab guru untuk melakukannya melalui proses belajar mengajar. Oleh karena itu, secara metodologis nomenklatur penyebutannya yang tepat adalah menyelenggarakan pengajaran. Tapi kalau berbicara soal pendidikan, jawabannya adalah kita semua ikut bertanggungjawab atas proses dan hasilnya.
Orang tua banyak berpersepsi keliru dalam hal pendidikan ini. Seolah-olah guru yang bertanggungjawab penuh atas anak didiknya, padahal seharusnya orang tua juga ikut bertanggungjawab.
Pendidikan lebih bermuatan pada proses memanusiakan manusia. Artinya, kecerdasan intelektual yang dipelajarinya sejak TK sampai anak yang bersangkutan mencapai gelar akademis yang paling tinggi, dimaksudkan untuk memuliakan manusia yang lain yang pada saatnya dia akan mendapatkan kemullaan disisi Tuhan YME.
Berilmu bukan untuk membuat sengsara orang lain atau membuat kehancuran di muka bumi. Menguasai ilmu pengetahuan hakekatnya hanya berfungsi sebagai instrumen untuk menjalankan sebuah proses transformasi agar manusia bisa saling mengisi dan saling bisa memuliakan.
Seorang dokter pada dasarnya hasil dari proses pengajaran, di mana selama kuliah diajarkan bagaimana cara mengenali penyakit dan bagaimana cara mengobatinya. Tapi manakala si dokter menjalankan tugasnya diarahkan agar tidak semata-mata berfikir tentang pendapatan namun juga harus berfikir tentang sisi kemanusiaan, maka arahan tadi kontennya bukan lagi masuk ranah pengajaran, tapi lebih bermakna sebagai hasil dari proses pendidikan.
Di abad globalisasi yang ditandai oleh kemajuan di bidang teknologi informasi, manusia rupanya terjebak dalam retorika kehidupan bahwa manusia harus menguasai iptek. Semua sekolah, universitas dimanapun berlomba-lomba berkontribusi untuk mencetak para ahli di berbagai bidang keilmuan.
Langkah ini secara totalitas tidak salah karena hanya dengan menguasai iptek, pembangunan peradaban dapat dilakukan. Semua lembaga “pendidikan” di dunia menceburkan anak “didiknya” untuk bisa berenang di lautan luas agar bisa menguasai bidang keilmuan tertentu. Tidak menguasai iptek, nyaris bisa menguasai dunia.
Ketrampilan dan keahlian sejatinya adalah output dari proses pengajaran. Karena itu, kita sering mengunakan istilah proses belajar mengajar. Tidak pernah ada yang menggunakan istilah misalnya “proses didik mendidik”. Sekolahan, akademi dan universitas selalu disebutnya lembaga pendidikan, padahal yang paling banyak porsinya diberikan kepada siswa dan mahasiswa, sebenarnya proses belajar mengajar.
Jadi qua nomenklatur harusnya lembaga-lembaga tersebut lebih tepat disebut sebagai lembaga pengajaran. Atau nomenklaturnya disebut dua-duanya, yaitu lembaga pendidikan dan pengajaran karena semua kita memerlukan keduanya. Pendidikan dan pengajaran adalah sekeping mata uang, dua-duanya penting bagi kehidupan.
Pendidikan dilihat dari porosesnya sebenarnya lahir duluan dibanding pengajaran. Pendidikan sejatinya sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan bunda selama 9 bulan. Setelah lahir ke dunia dia akan mengalami proses pendidikan dan pengajaran yang idialnya harus selalu berpasangan.
Tapi orang tua sering lupa karena sekarang ini adalah abad globalisasi, abad teknologi informasi, maka orang tua dengan semangat heroiknya mempersiapkan anaknya agar menjadi orang yang punya ketrampilan dan keahlian dan sesudah itu mereka agar bisa mencari duit untuk bisa menghidupi dirinya dan keluarga.
Mencari duit dijadikan tujuan hidupnya, padahal mencari duit atau harta kekayaan sebenarnya hanya akibat dan tidak tepat dijadikan tujuan hidup. Yang tepat dijadikan tujuan ketika seseorang meguasai iptek adalah bagaimana dia dapat mentransformasikan ilmu agar menghasilkan manfaat bagi kehidupan.
Ketika ketrampilan dan keahlian itu ditransformasi di perusahaan, maka sebagai bentuk penghargaannya, perusahaan memberikan reward kepadanya berupa gaji dan berbagai bentuk tunjangan. Gaji dan tunjangan datang karena amal baktinya yang mendatangkan nilai dan manfaat bagi perusahaan dimana ia bekerja.
Dengan tesis ini, dapat disimpulkan, mengamalkan ilmu adalah tujuan hidup seseorang, gaji dan tunjangan yang diterimanya adalah ibarat ganjaran yang diterimanya. Hal seperti itu adalah yang bermakna pendidikan yaitu mengamalkan ilmu jauh lebih mulia di sisi manusia dan Tuhan daripada sekedar cari duit, ibarat hanya berfikir sekedar kejar setoran. ***
Source: www.tubasmedia.com