Tradisi Menangkap Ikan Paus Suku Lamalera
Salah satu bukti dari keunikan budaya Indonesia bisa Anda jumpai saat Anda berkunjung ke Pulau Flores di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat Anda berada di pulau yang namanya diambil dari bahasa Portugis yang berarti bunga ini, jangan lupa untuk singgah ke tiga pulau besar di sebelah timur, berjuluk Pulau Solor, Pulau Adonara, dan Pulau Lembata yang dinamakan Kepulauan Solor.Salah satu desa kecil yang bernaung di sebelah selatan Pulau Lembata, desa Lamalera, dikenal memiliki budaya dan tradisi menangkap ikan paus. Masyarakat desa nelayan berpenduduk 3000 orang ini kerap berburu paus di laut Sawu yang berada di antara Provinsi NTT dan Australia yang merupakan habitat terbesar ikan paus sekaligus jalur migrasi 14 jenis ikan paus, termasuk paus jenis langka, yakni ikan paus biru (Balaenoptera musculus) dan ikan paus sperma (Physeter macrocephalus).
Berdasarkan hasil penelitian Dr Benjamin Kahn dari APEX Environmental Program Cetacean, paus-paus yang ditangkap umumnya tidak masuk dalam kategori mamalia laut yang dilindungi. Termasuk paus kotaklema alias Sperm Whale (Physetermacrocephalus) dengan panjang antara 12-20 meter. Tidak sembarang paus boleh ditangkap. Sesuai aturan adat, nelayan tidak boleh menangkap paus jantan besar atau paus betina yang sedang hamil.
Musim menangkap paus ini jatuh antara Mei-Oktober saat laut tenang dan tidak terlalu bergelombang. Sebelum melakukan perburuan, para nelayan melakukan upacara adat sekaligus misa yang disebut Iefa dan digelar setiap 1 Mei di Kapel Santo Petrus. Misa tersebut bertujuan untuk memohon berkah dari para leluhur serta mengenang arwah Lamafa yang gugur di laut setelah berjibaku dengan paus. Kemudian penduduk Lamalera akan membuat miniatur kapal yang diisi dengan lilin dan diarung ke laut. Setelah menjalani misa, dengan menggunakan sampan bercadik yang mereka sebut Peledang berisikan 7 orang, para nelayan segera melanjutkan perburuan.
Jika salah satu di antara nelayan tersebut ada yang melihat target buruannya, maka dia akan segera berteriak “Baleo, Baleo” untuk menginformasikan kepada yang lain. Dengan berbekal alat tikam berupa bambu sepanjang 4 meter dan tali panjang (tali leo) yang diikatkan pada mata tombak yang mereka sebut tempuling, sang juru tikam alias Balafaing (Lamafa) segera bergegas menjalankan tugasnya. Setelah paus terlihat dan Peledang mendekati ikan tersebut, maka Balafaing akan langsung menancapkan Tempuling tepat ke bagian jantung. Biasanya paus Kotoklema baru akan tewas setelah mendapatkan tikaman yang ke 4 atau bahkan lebih.
Tikaman pertama adalah saat yang paling mendebarkan dan berbahaya bagi seluruh awak Peledang. Kekuatan paus yang masih ada bisa membuat paus tersebut berontak. Bahkan kerap terjadi Peledang di bawa ke dalam laut atau terbalik dan dihancurkan oleh paus. Setelah sang Kotoklema mulai lemas, awak perahu akan merobek bagian tubuh ikan dengan pisau yang bertujuan agar darah cepat keluar dan akan membuat paus tersebut cepat mati. Saat paus menyerah, maka seluruh awak kapal akan berteriak “Hirkae” dan segera menariknya menuju pantai.
Pembagian daging paus masih mengikuti aturan adat yang berlaku dan harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Dengan pola pembagian, 3 potongan besar untuk tuan tanah, awak perahu dan suku pemilik perahu. Tuan tanah yang merupakan sesepuh desa, tetua adat dan penduduk asli Lamalera akan memperoleh bagian kepala. Sementara bagian lainnya dibagi sesuai dengan peran masing-masing awak yang kemudian akan membaginya lagi kepada tetangga dan saudara.
Adanya wacana konservasi Laut Sawu membuat masyarakat setempat seolah dilanda mimpi buruk. Bagi mereka, berburu paus sudah menjadi mata pencaharian tersendiri yang bisa digunakan untuk menghidupi keluarga. Laut Sawu menjadi wilayah migrasi mamalia laut langka, karena merupakan pusat tujuan arus dari berbagai benua yang nota bene sangat dikagumi dan disenangi mamalia laut, termasuk paus.
Konservasi Laut Sawu bertujuan melindungi mamalia laut dari kepunahan. Adanya peraturan adat masyarakat Lemalera dalam memilih paus yang akan diburu sebenarnya sudah menjadi salah satu bentuk perlindungan terhadap paus, tetapi dengan cara yang berbeda. Menurut Kahn, perburuan paus juga memiliki dampak yang sangat kecil bagi kepunahan mamalia laut tersebut.
Source: palingindonesia.com